Lanjuuuttt di Part Three :) :) :)
Di belakang panggung, Guru Inn memuji kinerja anak-anak didiknya. Ia
bahkan berjanji akan mentraktir semua anak didiknya makan malam. Di meja
Nam ada sebuah apel dan pesan di bawahnya. Untuk Snow White, saya sudah
mencicipinya. Apelnya tak beracun. Nam memandangi Apel itu dengan
senang.
“Dari siapa?”tanya Cheer tertawa geli karena melihat apelnya sudah digigit.
“Pasti dari Chon”ucap Nam senang.
“Mungkin
dari anak itu” Nim menunjuk cowok yang berperan sebagai Pangeran yang
sedang memakan apel, dan memandang Nam penuh minat.
“Euhh...” Nam geli. Sementara Cheer cs tertawa mengejeknya, “Pangeran kodok! Sungguh cocok dengan putri kodok!”
Malamya Nam melampiaskan kekesalan pada Tuan Kancing. Ia berpikir Chon
pasti hanya memilih datang ke pertunjukkannya Faye dibanding dirinya. Ia
lalu membuang Tuan Kancing meski kemudian ia memungutnya lagi dari tong
sampah.
Keesokan harinya, Chon sedang asik mengobrol bersama teman-temannya
ketika seorang cowok menepuk bahunya, “Hei, kau tak menyapa ayahmu ini
anakku?” canda cowok itu.
Chon menoleh dan kaget. Ia langsung memeluk cowok itu dan mengenalkannya pada teman-temannya, “Ini Top, dia temanku sejak TK.”
Top rupanya langsung terkenal di kalangan gadis-gadis karena dia tampan (meski buatku Chon yang paling tampan)
dan merebut popularitas Chon. Top lebih ramah, dan easy going. Ia
menyapa semua gadis di jalan, sampai Chon menghentikan tingkah
playboynya dan mengajaknya ke kantin.
Di kantin rupanya drama Snow White yang diperankan Nam diputar
berulang-ulang kali. Semua tak ada yang mengenali bahwa Snow White
disana adalah Nam, dan Nam yang kini lebih manis dan cantik langsung
terkenal di kalangan cowok-cowok. Sementara Chon dan Top juga melihat Tv
yang sama.
“Wah itu Snow White yang sedang diputar di TV. Dia manis. Apa dia sudah punya pacar?”tanya Top benar-benar terpesona dengan Nam.
“Sepertinya belum, tapi kurasa kau tak boleh mendekatinya”jawab Chon.
“Kenapa?”tanya Top heran.
“Bukannya dia terlalu muda untukmu?”
“Ah aku bahkan sudah biasa meminta no telepon anak kelas 5 SD,” ujar Top.
Chon, “????!”
Tahun berikutnya....
Chon dan Top bermain sepak bola seperti biasa, sampai Top menyuruh Chon
melakukan tendangan pinalti. Chon tersinggung dan marah-marah karena Top
selalu menyuruhnya melakukan pinalti. Top yang tahu trauma sahabatnya
bertanya, “Kau masih belum pulih dari trauma mu itu? Ayahmu sendiri
mungkin sudah lupa.”
Chon mengelak, “Bukan, karena terlalu mudah makanya tak kulakukan!”
Top ngalah, “Iya deh Cristiano Ronaldo....”
Di
tengah jalan mereka dihentikan oleh cewek-cewek dari grup mayoret yang
ingin foto bersama Top. Chon menawarkan dengan sukarela untuk memotret
mereka. Namun baru gambar pertama, kedua cewek itu sudah bertengkar
merebutkan posisi paling dekat dengan Top. Pertengkaran itu menarik
perhatian siswa mayoret yang lain, mereka pun tawuran. Guru Inn datang
melerai, sementara Top dan Chon kabur dari tempat itu.
“Hei, kau bisa membuat keadaan jadi seperti ini?” tanya Chon kagum. Top hanya mengangkat bahu.
Kedua Siswi itu akhirnya terluka karena pertengkaran barusan. Yang satu
leher dan kakinya, yang satu lengannya. Mereka dipastikan takkan bisa
memimpin grup mayoret. Kepala Sekolah akhirnya memutuskan akan
berkonsultasi dengan Guru Orn. Guru Inn cemberut mendengar nama Guru Orn
disebut. Tiba-tiba ia melihat raket melayang di belakangnya. Rupanya
Nam dan kawan-kawan melempar raket untuk bisa mengambil cock yang
tersangkut (Nam sekarang sudah jauh lebih cantik, bersih dan putih, rambutnya juga panjang). Guru Inn langsung dapat ide.
Guru Inn menghampiri Nam dan Cheer yang sedang istirahat. Ia memuji-muji
Nam, “Nam, seumur hidupku aku tak pernah melihat orang sesempurna,
sebaik dan secantik kamu...”
Nam yang tahu Guru Inn dulu bahkan
pernah menghinanya sebagai si kulit hitam berkata, “Guru, katakan saja
langsung, apa yang kau ingin aku lakukan?”
Guru Inn pun meminta
secara langsung supaya Nam menjadi pemimpin Mayoret sekolah untuk
Festival Olahraga kota. Nam tadinya mau menolak karena festivalnya
tinggal 2 minggu lagi, dan ia sama sekali tak ada persiapan, namun Guru
Inn memohon-mohon pada Nam.
Dalam latihan pertama, Nam bahkan tak bisa menangkap tongkat mayoretnya
sama sekali. Ia melemparnya sangat tinggi sehingga seluruh murid-murid
pada berlarian karena takut tertimpa.
Nam putus asa. Ia merasa tak mungkin bisa melakukan lemparan tongkat
mayoret. Cheer cs menyemangatinya. Cheer membacakan metode terakhir
dalam buku 9 Metode Cinta yang sesuai keadaan Nam saat ini.
Metode terakhir *ini juga tahu-tahu sudah terakhir*:
“Jika
kamu ingin melakukan sesuatu karena cinta maka lakukanlah habis-habisan
dan dengan sepenuh hati, maka dia akan datang padamu.”
Nam menghela
nafas. Ia merasa tak percaya diri. Nim memegangi bahunya dan
menyemangati, “Hey, Nam.. kamu sudah sampai sejauh ini... (selama lebih dari 2 tahun jatuh cinta pada orang yg sama)
dan berjuang sekuat tenaga. Kamu kali ini tak hanya menjadi pemimpin
mayoret sekolah kita, tapi menjadi perwakilan provinsi. Berjuanglah
Nam...”
Nam akhirnya berlatih siang-sore-malam di lapangan. Bahkan
ketika lapangannya sedang dipake Chon dan Top cs untuk bermain sepak
bola, Nam masih berlatih. Hal itu menarik perhatian Top yang jadi tak
konsentrasi bermain bola dan membuat Chon kesal lalu menyeretnya,
“Lagi-lagi kau melirik gadis-gadis!”
Guru Inn sedang meyakinkan Kepala Sekolah bahwa grup mayoretnya akan
menjadi yang terbaik. Ia bahkan memuji-muji Nam yang akan menjadi
pemimpin grup mayoret. Baru selesai memuji, tiba-tiba terdengar teriakan
Nam.
“Awas Guru!”
Dan tongkat mayoret melayang ke arah mereka berdua. Nam segera berlari mengambil tongkat tersebut sambil minta maaf.
“Jangan
bilang kalau dia yang akan jadi pemimpin Mayoret sekolah ini...” kata
Kepala Sekolah. Guru Inn mencoba meyakinkan kalau kegagalan Nam tadi
adalah yang pertama. Belum selesai Guru Inn ngomong, tiba-tiba sebuah
benda bergulir di depan mereka. Rupanya Nam baru saja mematahkan kepala
tongkat mayoretnya hingga rusak.
“Ganti dia, atau kau yang akan kuganti”ujar Kepala sekolah pada Guru Inn sambil berjalan pergi.
Guru Inn panik, “Tapi Festivalnya tinggal seminggu lagi!”
Nam mengintip dari balik pohon dengan perasaan bersalah.
Faye dan Kwan sedang berjalan sambil membicarakan soal Guru Inn yang
keras kepala mempertahankan Nam, “Aku heran kenapa ia tak memilih kita
yang cantik dan berbakat, Guru Inn begitu mengerikan, setiap siswanya
juga mengerikan. Untung kita tak berada di kelasnya, kita mungkin takkan
populer seperti sekarang.”
Nam yang mendengar perkataannya Faye
marah, ia berniat akan melabrak Faye namun ditahan teman-temannya,
“Kenapa kau membicarakan Guru Inn seperti itu?!”
“Pada kenyataannya seperti itu” jawab Faye santai.
“Dasar wajah serangga!” ledek Kwan, mereka lalu kabur.
Nam emosi, “Aku akan membuktikan pada mereka bahwa Guru Inn bukan orang yang mengerikan!”
Ia pun berlatih lagi dengan menggunakan sapu, sebagai pengganti tongkat mayoretnya yang rusak. Ia masih belum berhasil.
Malamnya, Chon dan Top sedang dalam pertandingan percobaan, dan Nam juga
berada disitu untuk latihan. Ayah Chon dan temannya juga datang untuk
melihat latihan anaknya. Saat pertandingan, timnya Top dan Chon mendapat
giliran penalti. Saat Top mau melakukan eksekusi, Chon menahan Top.
Rupanya ia mau mencoba melakukan penalti. Ayah Chon yang melihat gelagat
anaknya memutuskan ingin pergi dari tempat itu karena takut, namun
ditahan temannya. Top memberi kesempatan pada Chon.
Tendangan pinalti Chon membentur tiang gawang. Chon depresi. Kata-kata
hinaan Ding tentang ayahnya terngiang-ngiang di kepalanya. Ayahnya pun
tak kuat melihatnya dan berniat segera pergi, namun temannya masih
tertarik untuk melihat dan menahan ayah Chon. Top menepuk bahu Chon
dengan senyum. Temannya yang bermain di tim lawan memberinya kesempatan
kedua, “Yang tadi hanya pemanasan.”
“Mana ada aturan seperti itu...”kata Chon kesal.
“Ada” kata Top dan kawan-kawannya.
“Terlebih lagi aku belum meniup peluit”sahut Guru Phol. Chon tersenyum senang. Ia mencoba melakukan tendangan lagi.
Goal! Chon disambut histeria teman-temannya. Ayahnya juga sangat senang,
dan pergi dengan lega dari tempat itu. Semua menyoraki Chon termasuk
Nam yang ikut tersenyum senang untuk Chon. Chon akhirnya menerima
tawaran Guru Phol untuk menjadi pemain tetap di Klub Sepak bola Sekolah.
Teman-temannya senang, namun pandangan mata Chon menatap penuh arti ke
arah Nam yang berdiri di samping bangku penonton. Nam tersenyum sambil
menatap tongkat mayoretnya.
Di kamar Nam memandangi Tuan Kancing, “Aku mengerti”ucapnya penuh senyum
keyakinan. Nam lalu berlatih siang, malam, seminggu tanpa henti. Dan
latihannya akhirnya membuahkan hasil. Dia sudah mampu menangkap tongkat
mayoretnya. Di sekolah Guru Inn senang dengan perkembangan Nam. Ia
membanggakan Nam di depan Guru Phol dan Guru Orn. Guru Phol memberikan
aplause, sementara Guru Orn terlihat tak senang.
Hari Festival tiba.
Nam dengan pakaian leader mayoretnya terlihat sangat cantik, mereka
berparade keliling kota. Ia juga ditonton oleh Pang dan Ibunya.
“Bagaimana, apakah kakakmu terlihat cantik seperti ibu?” tanya Pim.
“Yang benar saja! Kakak lebih cantik dari pada Ibu!”jawab Pang. Pim memeluk Pang sambil tersenyum senang.
Chon dan Top juga ikut menonton parade. Chon sibuk memotret Nam,
sementara Top memandangi Nam dengan terpesona, “Aku takkan mau pindah
kemana-mana lagi...”
Chon menggerutu, “Aku selalu mendengar hal yang sama darimu terus!”
Hari
Valentine. Popularitas Nam langsung meningkat sejak Festival. Semua
cowok tergila-gila padanya. Ia mendapatkan banyak coklat dan hadiah
valentine.
“Padahal Valentine tahun lalu dia masih berkulit gelap”
ujar Cheer geli. Tapi Nam kelihatan tak bersemangat. Gie menanyakan
keadaannya.
“Dia menunggu satu-satunya pria, justru ia tak datang” ucap Cheer. Siapa lagi kalau bukan Chon.
Nim tiba-tiba berseru heboh. Rupanya Chon datang.
Ia membawa pohon mawar putih yang masih ada akarnya. Cheer cs mendorong
Nam yang terlalu nervous untuk keluar. Hatinya dag-dig-dug, apalagi Chon
tersenyum manis ke arahnya. Namun senyum Nam harus hilang ketika Chon
mengatakan hanya mengantarkan mawar dari temannya. Nam memandang
punggung Chon yang pergi dengan hati kecewa.
Di kamar Nam masih melihat pohon mawar itu dengan sedih. Saat ia
memutuskan untuk belajar, secarik kertas terjatuh dari bukunya. Sebuah
surat, Nam, sampai bertemu jam empat di depan tangga sekolah. Ada yang
ingin kukatakan padamu. Nam tersenyum. Harapannya bangkit lagi.
Nam menunggu di depan tangga sekolah dengan berdebar-debar. Apalagi
ketika ia melihat sekolah sudah mulai sepi, dan Chon datang ke arahnya.
Chon tersenyum dan memanggil namanya, “Nam...”
“Rupanya kau datang...”tiba-tiba Top berdiri di antara mereka. Nam terkejut. Ia meremas kertas di tangannya.
“Kak Top yang memberiku surat ini?”tanya Nam takut.
Top mengangguk, “Ya, surat itu milikku.”
“A... ada yang ingin kau bicarakan padaku?”
Top memandang Nam penuh senyum, “Maukah kau menjadi pacarku Nam?”
Nam terkejut. Ia tak mengharapkan Top yang mengatakannya. Matanya beralih ke Chon, “Ka Chon ingin mengatakan sesuatu padaku?”
Chon
berjalan ke arah Top dan Nam sambil tersenyum, “Ah, aku hanya ingin
bertanya kenapa kau masih ada disini. Tapi pertanyaanku sudah
terjawab...”
Chon menepuk bahu Top kemudian pergi. Nam menatap kepergiannya dengan tak percaya.
“Jadi jawabannya apa Nam? Jika kau diam saja aku akan menganggap kau oke dengan itu”ujar Top.
Nam membeku.
“Hah?! Top?!”seru Cheer cs dengan tak percaya. Nam mengangguk lesu.
“Bagaimana bisa?”tanya Cheer, “Lalu, Chon hanya mengatakan itu?”
Nam mengangguk lagi.
“Lalu apa jawabanmu pada Top, Nam?”tanya Nim.
“Aku tak menjawab. Apa yang harus kulakukan Cheer...?”keluh Nam.
“Kau
harus menunggu dan melihat. Top adalah sahabat baik Chon, jika kau
melakukan sesuatu tanpa pertimbangan maka Chon pasti akan marah
padamu...”
Nam sedang jalan-jalan di siang hari ketika motor Top berhenti di
dekatnya. Top mengajak Nam untuk pergi bersamanya. Tadinya Nam menolak,
namun ketika Top mengatakan kalau hari ini adalah hari pertandingan
pertama Chon, Nam langsung ingin ikut. Di pertandingan Chon yang
kelelahan menghampiri bangku Nam dan meminta air, Top tak punya karena
baru ia berikan pada Nam. Nam akhirnya memberi punyanya. Chon meminum
air pemberian Nam dan menyiram wajahnya. Nam melihatnya dengan
terpesona. Pertandingan hari itu, Chon menang.
Nam pulang bersama Chon dan Top. Ia dibonceng oleh Top, sementara Chon
mengendarainya sendiri. Mereka mengendarai motor sambil saling
mengobrol. Suara hati Nam saat itu, Kau tahu Tuan Kancing? Aku ingin
berada di belakang Chon, di sepeda motornya...
To be continued coyyyy :) :) :)
Minggu, 09 Juni 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
aye..... yang meranin mario... cakep2
Posting Komentar